ETIKA BISNIS HINDU (1)

(Implementasi Weda dalam berbisnis)

Oleh:
IGNK Warthama *)



Etika bisnis berdasarkan agama hindu dapat diartikan  bahwa dalam melaksanakan bisnis seyogyanya tetap meningkatkan etika, moral dan spiritual Hindu sesuai dengan ajaran Catur Weda (Samhita) maupun Pancamo Weda yang penjabarannya melalui Ithasa maupun Purana seperti norma-norma berikut:
Pertama, norma berfikir, berkata dan berbuat (Trikaya Parisuda).Kedua, prinsip-prinsip yang terkandung dalam catur warga (kama, artha, dharma dan Moksa).Ketiga, ajaran-ajaran yang terkandung dalam catur asrama ( Barahmacari, Grahasta, Wanaprasta dan Sanyasin).Keempat, keseimbangan antara hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan lingkungannya dan hubungan manusia dengan Tuhannya (Konsep Tri Hita Karana)
Sebagai dasar seorang pebisnis sesuai dengan ajaran Agama Hindu perlu penjelasan serba sedikit tentang empat dasar yang kami sampaikan diatas.

Prinsip dasar ajaran Tri Kaya Parisudha.

Menurut  buku SARASAMUCCHAYA  yang diterbitkan oleh PHDI Pusat tahun 1979 yang kami kutip bait  79 - 83 menyatakan bahwa sebagai berikut: ada yang disebut perbuatan yang disadari oleh pengendalian hawa nafsu yang sepuluh banyaknya yang harus dilaksanakan.
Perinciannya:

{}   Perilakau fikiran ada tiga banyaknya yaitu:
a.       Tidak dengki atau iri hati akan milik orang lain
b.      Tidak marah terhadap mahluk apapun
c.       Percaya akan kebenaran ajaran karmapala
Itulah tiga macam perilaku fikiran

{}  Empat hal yang tak boleh diucapkan yaitu:
a.       Perkataan kotor
b.      Perkataan kasar
c.       Perkataan memfitnah
d.      Perkataan bohong
             Keempat hal itulah yang tak boleh diucapkan

            {}  Hal-hal yang tak boleh dikerjakan adalah
a.       Membunuh
b.      Mencuri
c.       Berjinah
Ketiga hal itu sama sekali tidak boleh dilakukan.

Sesungguhnya  seseorang itu akan dikenal dari perbuatan, perkataan dan fikirannya. Hal itulah yang menarik perhatian setiap orang untuk mengetahui keperibadian setiap orang. Maka dari itu kebaikan itulah yang harus dibiasakan dalam perkataan, perbuatan dan fikiran.


Dalam uraian dibawah ini serba sedikit kami sampaikan tentang fikiran, perkataan dan perbuatan seseorang.

Dalam Maya Tattwa disebutkan bahwa antakarana merupakan unsur alam fikiran yang terdiri dari budhi, ahamkara  dan manas,
sedangan indrya (dasendrya) merupakan alat dari antakarana.
Budhi berarti kecerdasan, pengertian, pemikiran, pengetahuan dan kebijaksanaan.Budhi merupakan alam fikiran yang tertinggi pada diri manusia yang berfungsi untuk mengklasifikasikan  dan menentukan segala keputusan. Budhi bersifat satwam, oleh karena itu segala sesuatu yang diputuskan bersifat baik dan bijaksana.
Ahamkara merupakan bagian dari alam fikiran yang merupakan alat untuk dapat merasakan dan berfikir serta berbuat. Menurut sifat dan fungsinya ahamkara dapat digolongkan menjadi  tiga bagian yaitu:
a.       Ahamkara-Waikerta adalah bagian dari alam fikiran yang bersifat Sattwam dan merupakan asal mula dari manas dan indria. Fungsinya untuk berfikir dan merasakan sesuatu.
b.      Ahamkara-Taijasa merupakan bagian dari alam fikiran  yang bersifat rajas dan berfungsi untuk membantu ahamkara-waikerta dan ahamkara bhutadi.
c.       Ahamkara-bhutadi merupakan bagian dari alam fikiran yang bersifat tamas dan berfungsi untuk menumbuhkembangkan unsur-unsur jasmani yang terdiri dari pancatanmatra dan pancamahabhuta.

Indrya membantu antahkarana untuk mengetahui dunia luar, apa yang disadap oleh  indrya disampaikan pada manas, ahamkara dan kemudian diolah oleh budhi. Indrya dalam tubuh manusia berjumlah sepuluh yang disebut dasandrya yang terdiri dari pancabudhindrya dan panca karmendrya.
Pancabudindrya terdiri dari pendenganran, penciuman, perabaan, pengecap dan penglihatan.. Sedangkan pancakarmendrya terdiri dari  bicara,  berbuat dari tangan, bertindak dari kaki, dan indrya seksual dari alat kelamin.
Pada umunya indrya-indrya itu ingin mencapai kepuasan dan sumber kepuasan indrya itu disebut wisaya dan berasal dari alam lingkungan sekitarnya. Obyeknya bisa nyata dan bisa abstrak dan obyek ini merangsang alat-alat indrya kemudian disampaikan kepada manas melalui ahamkara diterima oleh budhi serta mengolahnya.  Hasil olahan oleh budhi dikembalikan ke manas melalui ahamkara dan indrya menikmatinya. Dalam mengambil keputusan yang memegang peranan penting adalah budhi, ahamkara dan manas dan tidak terlepas dari sattwan, rajas dan tamas yang merupakan unsur dari ahamkara. 
            Bagaimana implemenasinya Trikaya Parisuda dalam bisnis  ?

Ungkapan yang sering kita dengan adalah “Bisnis adalah bisnis”. “Bisnis jangan dicampur adukan dengan etika” .
Ungkapan itu menggambarkan bahwa hubungan antara bisnis dengan etika jangan dicampur. Inilah ungkapan-ungkapan yang oleh de George dalam bukunya “Business Ethics” disebut sebagai “Mitos bisnis Amoral”. Ungkapan atau mitos ini menggambarkan dengan jelas paham atau kepercayaan orang bisnis, sejauh mereka menerima mitos  seperti itu tentang dirinya kegiatannya dan orang lain yang menjalin hubungan bisnis dengan mereka. Yang mau digambarkan di sini adalah bahwa kerja orang bisnis adalah berbisnis, bukan beretika. Atau lebih tegas yang mau dinayatakan dengan mitos semacam itu adalah bahwa antara bisnis dan etika tidak ada hubungan sama sekali. Keduanya dunia yang berbeda tidak bisa dicampur adukan.

Kegiatan bisnis hanyalah memproduksi, mengedarkan, menjual dan membeli barang dan jasa dengan memperoleh keuntungan. 
Jadi bagaimana berusaha sekuat tenaga dengan meperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.
Dalam mitos bisnis amoral berlaku prinsip “economic animal” yaitu:

Asal menang meskipun curang
Asal mujur meskipun lacur
Asal untung meskipun lancung

Dasar pemikirannya adalah sbb:
1.      Seperti halnya judi atau permainan pada umumnya  bisnis adalah  sebuah bentuk persaingan (yang mengutamakan kepentingan pribadi). Dan sebagai bagian dari suatu bentuk persaingan semua orang yang terlibat di dalamnya selalu berusaha dengan segala macam cara  dan upaya untuk menang.

2.      Dalam permainan penuh persaingan itu, aturan yang digunakan  berbeda dari aturan yang ada dalam kehidupan sosial pada umumnya. Maka aturan bisnis berbeda dari aturan sosial-moral umumnya.

3.      Orang yang memenuhi aturan moral akan berada dalam posisi tidak menguntungkan di tengah persaingan ketat yang menghalalkan segala cara. Jadi orang yang sok moral akan rugi dan tersingkir dengan sendirinya.

4.      Jika suatu permainan judi mempunyai aturan yang secara legal diterima, dengan sendirinya secara etis juga diterima. Maka kalau suatu praktek bisnis dibenarkan secara legal (karena sesuai dengan aturan hukum yang berlaku) secara moralpun dibenarkan.

5.      Jika suatu praktek yang begitu umum diterima di mana-mana sehingga menjadi suatu norma maka orang lain tinggal menyesuaikan diri dengan praktek seperti itu.


Kesimpulan:   bisnis dan etika adalah dua kutub yang berbeda dan terpisah satu   sama  lainnya (Bisnis tidak mengenal etika)

Apakah benar bisnis tidak memperhatikan etika ?

Untuk menjawab pertanyaan diatas ada beberapa argumen yang perlu dikedepankan yaitu:

1.      Bisnis memang sering disebut judi atau permainanm, tetapi tidak sepenuhnya benar  karena  dalam bisnis orang dituntut untuk berani mengambil risiko, berani berspekulasi dan berani bertaruh  seperti halnya dalam dunia judi. Tetapi perlu diingat bahwa yang dipertaruhkan dalam bisnis tidak saja uang tetapi juga dirinya sendiri, keluarganya dan hidup serta nasib seluruh karyawannya. Jadi ada nilai manusiawi yang dipertaruhkan.

2.      Tidak benar bahwa sebagai suatu permainan (judi) dunia bisnis mempunyai aturan main sendiri yang berbeda dari aturan yang berlaku dalam kehidupan sosial pada umumnya. Karena bisnis bagian dari masyarakat, bisnis berlangsung di dalam masyarakat yang merupakan kegiatan antar manusia. Sebagai kegiatan antar manusia bisnis perlu juga etika sebagai pemberi pedoman dan orientasi bagi keputusan, kegiatan, dan tindak tanduk manusia dalam berhubungan (bisnis) satu dengan yang lainnya termasuk norma dan nilai etis.
 
3.      Memang benar dalam bisnis terjadi persaingan yang sangat ketat, tetapi tidak benar orang yang mematuhi aturan moral akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, atau pergi dan tersingkir. Dari pandangan sudut bisnis sendiri makin disadari bahwa bisnis yang berhasil adalah bisnis yang memperhatikan norma-norma moral.

4.      Perlu dibedakan antara azas legalitas dan moralitas. Suatu praktek bisnis boleh jadi dibenarkan oleh legal (benar secara hukum) belum tentu benar dalam segi etis. Dari segi legal misalnya tentang monopoli dibenarkan oleh aturan hukum tetapi belum tentu diterima oleh moral. Karena dengan praktek bisnis monopoli bisa saja harganya lebih tinggi dari pada tidak ada monopoli.

Berdsarkan argumen-argumen tersebut diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.      Bagaimanapun juga bisnis tetap mengenal etika atau bisnis memang mempunyai 
      etika.Bisnis jangka panjang perlu memperhatikan norma-norma yang berlaku di   masyarakat. Bisnis   
      penuh persaingan tetapi pesaingan yang dilandasi oleh       norma-norma moral. Keuntungan memang  
      perlu, tetapi keuntungan hanya bisa
      diperoleh kalau kebaikan masyarakat secara keseluruhan diperhatikan, melalui
      penawaran mutu barang dan jasa yang baik.


2.      Bisnis bermoral, beretika dan berdasarkan spiritual Hindu adalah melaksanakan usaha/bisnis dengan berprilaku berdasarkan Trikaya Parisuda. Sehingga umat Hindu yang berbisnis tidak melanggar Dharma. (bersambung)

0 komentar anda:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar atau menyampaikan informasi atau sekedar mengekpresikan diri. minimal 10 kata, maaf di bawah 10 kata kami tidak terbitkan. thanks