Mobile Device Ready, Just Click :
Oleh:
Dadang Kadarusman
“SS-Pro™ Personality Leadership Strategy” Learning Facilitator
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Kelihatannya tantangan yang dihadapi Sumber Daya Manusia kita semakin mengkhawatirkan saja. Khususnya dalam konteks mempersiapkan generasi masa depan. Bukan saja karena sudah sejak lama kita menengarai kelemahan sekolah dan pemerintah untuk mempersiapkan SDM terampil yang siap bersaing di dunia kerja. Bahkan, akhir-akhir ini situasinya makin mengerikan saja karena entah disadari atau tidak; menorehkan warna buram potret masa depan generasi muda kita. Ironisnya, kedua instansi berwenang itu seolah tidak begitu memperdulikannya.
Pagi itu, saya baru selesai mengisi acara on air di sebuah radio di Jakarta. Sekitar jam 9 pagi saya meninggalkan studio. Dijalan, saya dihentikan oleh lampu merah perempatan. Jadi, saya bisa leluasa melirik kiri-kanan. Lalu, mata saya tertahan oleh kerumunan orang yang sangat banyak dihalaman sebuah pusat perbelanjaan. Agak aneh juga kalau pagi-pagi begini sebuah mall sudah diserbu begitu banyak orang. Apakah mungkin sedang ada diskon besar-besaran?
Saya keliru, karena itu bukan kerumunan orang yang hendak rebutan diskon. Melainkan penonton konser musik group band ternama. Saya kagum pada industri musik masa kini. Bahkan mereka bisa melakukan konser sepagi ini. Disisi lain, saya melihat ironi. Karena ternyata penontonnya adalah para remaja yang seharusnya berada diruang-ruang sekolah menggembleng diri. Ada apa ini? Rasa perih seperti mengiris-iris hati. Membayangkan betapa beratnya persaingan yang akan mereka hadapi nanti.
Setelah peristiwa itu, secara tidak sengaja saya melihat tayangan siaran langsung konser musik di sebuah stasiun televisi. Jam sembilan tigapuluh pagi. Lalu kejadian di mall itu terbayang lagi. Sekarang saya melihat benang merahnya, karena ternyata acara seperti itu difasilitasi oleh media televisi. Lalu saya memindahkan chanel tivi. Saya terkejut sekali lagi. Karena ternyata, ada tivi lain yang melakukan siaran langsung serupa. Penonton yang jingkrak-jingkaknya juga sama-sama remaja. Lalu saya memindakan channel tivi, sekali lagi. Dan kali ini, saya seperti terkena alergi. Karena, ada tivi lain juga yang menyiarkan program dengan format yang sama. Sekarang, saya mulai menemukan sebuah link. Yaitu sebuah sistematika yang menghubungkan industri musik dan hiburan, uang, popularitas, serta media massa, dalam mendorong proses migrasi anak dan remaja kita; dari ruang-ruang kelas, menuju ke arena jingkrak-jingkrak di pagi hari.
Sungguh, sekarang saya sangat sedih. Mengapa di negara kita hal yang semacam ini dibiarkan terjadi. Tanpa ada yang peduli. Atau secara sungguh-sungguh mengawasi. Disaat bangsa China berada dipuncak gairah untuk menembus benteng-benteng diseluruh penjuru bumi, generasi muda kita dinina bobokan oleh buaian hura-hura secara membabi buta. Lalu, saya bertanya dalam hati; bagaimanakah nasib masa depan sumber daya manusia kita?
Jaman ayah saya masih remaja, sangat mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Bukan karena banyaknya lowongan. Namun lebih karena sedikitnya orang berpendidikan. Itu sekitar 40 tahun silam. Jaman saya lulus sekolah, mencari pekerjaan dengan imbalan sesuai dengan harapan sungguh tidak gampang. Itu sekitar 15 tahun yang lalu. Ketika saya memilih untuk berhenti bekerja, dan bertekad untuk mencoba mandiri; saya tahu bahwa banyak karyawan yang berjibaku untuk sekedar mempertahankan pekerjaan mereka. Itu baru dua belas bulan ditambah 3 minggu yang lalu. Biang keladi utamanya adalah; ketatnya persaingan bisnis, suramnya dunia usaha, dan berjubelnya pengangguran.
Tidak bisa dibayangkan betapa semakin ketatnya mencari pekerjaan lima atau sepuluh tahun yang akan datang. Apalagi kita tahu bahwa sebentar lagi, persaingan tidak hanya terjadi melawan bangsa sendiri. Melainkan dengan sumber daya manusia asing yang semakin banyak berdatangan kesini. Menyadari hal ini, saya merasa semakin perih dihati. Membayangkan anak-anak yang dibujuk untuk berjingkrak disaat seharusnya mereka berlatih mengasah otak.
Mungkin saya sudah terlampau kuno. Sehingga mudah kaget melihat orang berpesta. Tapi tidak juga. Karena, mereka yang pernah melihat saya dilantai dansa tentu tahu bahwa; jika saya sudah berdansa, saya sering lupa pada usia. Tetapi, saya tidak melakukannya dipagi hari dimana seharusnya saya bekerja. Sehingga, saya percaya bahwa merayu anak-anak sekolah dengan acara-acara semacam itu adalah kekeliruan besar. Entah atas nama eskpresi bermusik. Kebebasan siaran terlevisi. Ataupun kerja keras para produser dan event organiser untuk meningkatkan pendapatan. Jika kita lebih mementingkan penghasilan dan persaingan bisnis dengan mengorbankan masa depan generasi muda kita; bagaimana kita bisa merekonstruksi masa depan bangsa ini?
Mari Berbagi Semangat!
Catatan Kaki:
Selamat pagi Pak Menteri Pendidikan RI. Selamat pagi para produser televisi. Selamat pagi para pemusik. Selamat pagi para pendidik. Apakah kita masih peduli?
0 komentar anda:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar atau menyampaikan informasi atau sekedar mengekpresikan diri. minimal 10 kata, maaf di bawah 10 kata kami tidak terbitkan. thanks