Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Kita sudah tahu jika dalam dunia bisnis ada jargon yang menyebut bahwa ‘Pelanggan Adalah Raja’. Sekarang jargon itu mulai bergeser menjadi ‘Pelanggan Adalah Mitra’. Anehnya, banyak sekali pelaku bisnis yang tindak-tanduknya bertolakbelakang dengan jargon itu. Bahkan, pada tingkat tertentu membuat pelanggannya marah. Seberapa besar tingkat kesabaran Anda ketika menghadapi praktek-praktek sales dan marketing buruk mereka, misalnya? Mungkin Anda sangat penyabar sehingga perlakuan apapun yang Anda terima tidak terlampau mempengaruhi kestabilan emosi Anda. Atau, Anda sedemikian pemarahnya sehingga bisa dengan mudahnya menggebrak meja? Saya, kira-kira berada diantara keduanya. Saya bisa sabar. Dan saya bisa marah juga.
Sekitar pertengahan tahun 2010 saya membeli SIM card telepon selular dari sebuah provider. Tidak tahan dengan kiriman SMS dengan konten yang tidak jelas, saya langsung membuang SIM card itu pada bulan berikutnya. Menyakitkan sekali jika mengetahui provider telepon itu mencuri pulsa kita dengan mengirim SMS semacam itu. Saya masih bisa bersabar dengan perlakukan mereka itu. Sudahlah, jangan sampai perilaku buruk orang lain menjatuhkan kualitas hidup saya.
Semakin lama mencermati, semakin saya sedih dengan cara provider telepon di negeri kita menjalankan bisnis mereka. Mereka bahkan tidak lagi bisa membedakan antara halal dan haram dalam usahanya mencapai target pendapatan perusahaan. Namun, saya tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali berhenti berlangganan. Menurut pendapat Anda, berapa juta rakyat Indonesia yang pasrah seperti saya? Menghubungi nomor kontak mereka, bukan solusi karena nomor-nomor keluhan yang disediakan sering menjadi sekedar pajangan belaka. Mendatangi kantor mereka juga tidak praktis karena kita bisa menghabiskan biaya dan waktu yang sangat berharga. Jadi, “sudahlah; pasrah saja” kira-kira begitulah respon kita. Dari sudut pandang perusahaan kepasrahan pelanggan ini rupanya dianggap sebagai ‘peluang’ untuk meningkatkan laba dan pendapatan. Maka semakin bersemangatlah mereka dengan ‘gagasan-gagasan inovatifnya’ untuk menguras dompet pelanggan.
Bagaimana dengan peran pemerintah kita sebagai regulator praktek bisnis telekomunikasi? Sangat menyedihkan sekali. Setelah selama bertahun-tahun praktek bisnis tidak sehat ini berlangsung; tidak ada bukti kongkrit hasil upaya perlindungan yang efektif terhadap rakyat. Kelihatannya memang pemerintah tidak berdaya menjalankan fungsinya sebagai abdi rakyat. Sedangkan para penyedia jasa telekomunikasi bermental buruk melihatnya sebagai ‘blessing’ dalam sikap diam pemerintah yang begitu anggun. Hasilnya, semakin merajalelalah praktek-praktek sales dan marketing yang sangat buruk dalam bisnis telekomunikasi di negeri kita.
Apakah pelanggan masih menjadi raja? Oh, sekarang pelanggan adalah mitra. Begitulah jargon sales & marketing mutakhir di abad modern itu. Heeeyy…, jangan bilang siapa-siapa, sekarang kita sudah punya jargon baru dalam millennium ke-3 sales marketing kita, yaitu; pelanggan adalah s.a.p.i.p.e.r.a.h. Jangan bilang siapa-siapa, ya…. Sebagai pelangga saya hanya bisa mengalah. Ya sudahlah, berhenti berlangganan saja.
Tanggal 7 Maret 2011, saya baru menyadari bahwa 2 fasilitas telepon lainnya di rumah saya telah ‘dikerjai’ juga oleh perusahaan penyedia jasa telepon. Saya mendatangi customer service office mereka. Dengan hati sabar, kepala dingin dan dada yang lapang. Namun, petugas yang menerima saya benar-benar telah melakukan sesuatu yang menyebabkan pemakluman saya atas perlakuan buruk mereka berubah menjadi kemarahan. Walhasil, saya menuntut pejabat tertinggi di kantor itu untuk mempertanggungjawabkan seluruh praktek bisnis kotornya. Dua minggu kemudian, mereka mengganti uang saya yang sudah diambilnya sekitar Rp.700 ribu lebih sedikit. Penggantian itu dilakukan hari Jumat tanggal 18 Maret 2011. Saya senang karena uang saya kembali. Tapi saya tetap sedih karena praktek bisnis buruk itu kemungkinan terus menerus memakan korban jutaan orang lainnya yang tidak berdaya. Mereka tidak bisa melindungi diri mereka sendiri. Bahkan, para penyelenggara Negara pun tidak terlihat benar-benar peduli. Faktanya, hal itu masih saja terus terjadi.
Hari minggu tanggal 20 Maret 2011. Pagi-pagi sekali anak sulung saya datang dengan mata berkaca-kaca. “Ayah, aku dapat kiriman SMS terus nihh…..” katanya. Tahukah Anda SMS apakah gerangan itu? SMS sales marketing provider telepon yang lagi-lagi digunakan untuk menguras pulsa pelanggannya. Baru tanggal 19 kemarin anak saya mengisi pulsa, dan sejak pukul 00.11 WIB dibombardir dengan SMS pencuri pulsa. Saya lebih sedih lagi sekarang karena ternyata, selama berbulan-bulan ini keluhan anak saya tidak mendapatkan respon sepantasnya. Pagi itu saya berjanji untuk meluangkan waktu mendatangi kantor provider telepon itu. Untuk sementara, anak saya tenang. Namun, tahukah Anda bahwa beberapa menit kemudian ada kiriman SMS yang sama? Saya cek sisa pulsa di hand phonenya. Tinggal tersisa 54 rupiah. Sadisnya bisnis telepon di Negara bernama Indonesia. Dan betapa tenang tenteramnya para penyelengga Negara kita menikmati amanah yang sudah diberikan oleh rakyatnya di pundak mereka. Sungguh, sekarang saya benar-benar marah.
Tetapi, kemudian saya tergelitik untuk melihatnya dari sudut pandang praktek sales dan marketing lagi. Saya mencoba memperhatikan pola yang benar-benar kotor itu. Ketika pulsa kita kosong, atau hanya sedikit sekali; mereka berhenti mengirim SMS itu. Namun, begitu kita mengisi pulsa kembali; mesin pengirim SMS itu kembali aktif dan dengan rakusnya menyedot pulsa yang ada, sampai kering. Subhanallah, akhir zaman mungkin sudah sedemikian dekatnya sehingga orang mencuri pun sudah berani terang-terangan. Seolah-olah legal. Dan secara tidak langsung di anggap biasa oleh para penyelenggara Negara.
Bagaimana seandainya kita mengubah jargon sales dan marketing kita? Hah? Apa iya bisa? Bukankah tidak sebaiknya kita menantikan fatwa para guru marketing sekelas Pak Hermawan Kartajaya? Pak Hermawan itu sudah sangat banyak jasanya terhadap para marketer dunia baru. Bukan hanya untuk Indonesia, tetapi di level dunia. Jadi, ijinkan untuk sekali ini saja saya pribadi yang akan menyampaikan ‘re-thinking marketing’ dalam praktek sales dan marketing mulai saat ini. Apakah itu? Rule itu berbunyi;”Pelanggan Adalah Wakil Tuhan.”
Apakah pelanggan benar-benar merupakan ‘wakil Tuhan’? Benar. Pelanggan adalah perwujudan Tuhan yang secara fisik dan kongkrit berada di hadapan kita. Sebagai seorang pengambil keputusan dalam organisasi bisnis kita, apakah kita memiliki cukup nyali untuk pura-pura tidak tahu bahwa orang-orang yang bekerja di bagian sales dan marketing perusahaan kita telah mengkhianati wakil Tuhan? Terlalu beresiko jika kita bersikap demikian.
Tapi kan pelanggan itu bukan Tuhan? Hey, jargon baru yang saya bilang itu menyebut pelanggan sebagai ‘wakil Tuhan’, bukan menjadikan mereka sebagai ‘Tuhan-Tuhan baru’ kita. Tuhan ingin agar bisnis kita sukses dan berkah. Maka Dia mengirimkan wakilnya dalam wujud yang mudah untuk kita lihat, sehingga mudah berinteraksi dengannya. Mengapa kita tidak memahami itu sebagai isyarat dari Tuhan untuk menjadi pelayan terbaik bagi-Nya?
Jadi mulai sekarang, mari kita re-thinking marketing practice kita. Dan mari kita terapkan rule yang baru dalam praktek sales dan marketing kita. Apa bunyi rule itu? “Layanilah pelangganmu, seperti engkau melayani Tuhanmu.”
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
Natural Intelligence Contemplator
Catatan Kaki:
Mendapatkan nafkah yang berlimpah itu sungguh sebuah anugerah. Namun mengusahakannya dengan cara yang bermartabat, akan menjadikannya berkah.
0 komentar anda:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar atau menyampaikan informasi atau sekedar mengekpresikan diri. minimal 10 kata, maaf di bawah 10 kata kami tidak terbitkan. thanks