Artikel: Complain Handling – Belajar Dari Kasus PT. Telekomunikasi Indonesia


 
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
 
“Mendengarkan suara pelanggan,” demikian yang sering dinasihatkan oleh para ahli service excellence. Dari suara pelanggan itu kita bisa tahu apakah pelayanan kita sudah baik atau belum. Kemudian kita bisa mengambil tindakan yang relevan untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Masalahnya, telinga kita hanya nyaman mendengar pujian. Sedangkan kepada kritikan, rasanya telinga ini agak alergi; hingga enggan untuk mendengarkan. Meskipun secara konsepsi kita percaya bahwa suara pelanggan memang selayaknya didengarkan, namun dalam praktek sehari-hari kita sering antipati kepada pelanggan yang menyampaikan keluhan. Jika demikian, apakah sesungguhnya kita ini bersungguh-sungguh bersedia memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan?

Diantara sekian banyak contoh buruk pelayanan kepada pelanggan yang pernah saya cermati khususnya di dunia bisnis telco, saya mencatatkan sebuah contoh baik yang layak diteladani. Saya menuangkan pandangan ini setelah mengalami berbagai peristiwa menarik sehubungan dengan perilaku provider telco baik PSTN maupun selular.  Saya juga berharap artikel ini bisa menjadi penyeimbang positif terhadap artikel saya sebelumnya tentang betapa buruknya perilaku bisnis telco dan content provider di negeri kita, serta betapa tidak berdayanya pemerintah sebagai regulator bisnis ini.
 
Beberapa waktu lalu saya berencana untuk menghentikan langganan salah satu sambungan telepon rumah saya dari Telkom. Alasan saya; tagihan telepon kami dalam beberapa bulan terakhir membengkak dengan cara yang aneh. Ketika tiba di kantor Telkom itulah kemudian saya tahu apa penyebab pembengkakan tagihan itu. Ternyata, Telkom meningkatkan beban biaya bulanan (abonemen) tagihan telepon saya karena adanya program ‘nilai tambah’. Petugas CSO bersikukuh bahwa program itu memberikan nilai tambah kepada pelanggan. Petugas Telkom juga mengatakan kepada saya bahwa sebagai pelanggan saya ‘sudah menyetujui’ pengenaan tarip abonenem khusus itu.
 
Saya melihat tiga kejanggalan disini. Pertama, nilai tambah yang digembar-gemborkan oleh CSO Telkom itu tidak dikomunikasikan kepada pelanggannya, sehingga pelanggan tidak benar-benar menggunakan nilai tambah itu. Kedua, sekalipun pelanggan tidak menggunakan fasilitas yang ‘katanya’ memiliki nilai tambah itu, namun mereka tetap dikenakan tambahan beban biaya bulanan yang luar biasa persentasenya jika dibandingkan dengan abonemen normal. Kejanggalan ketiga, adalah sebuah kejanggalan yang sangat parah, yaitu; terjadinya pemalsuan data seolah-olah pelanggan telah memberikan persetujuan kepada pihak Telkom untuk mengikuti program ‘nilai tambah’ itu. Sekarang saya mengerti, mengapa tagihan kedua saluran telepon di rumah saya melebihi rata-rata tagihan selama ini.
 
Apa yang saya minta kepada CSO Telkom waktu itu sederhana sekali; tunjukkan bukti bahwa saya telah memberikan ijin kepada mereka. Karena petugas itu tidak bisa menunjukkan bukti persetujuan dari saya yang di klaimnya sudah mereka dapatkan itu, maka saya meminta uang saya yang sudah terlanjur di ambil tanpa ijin dikembalikan. Merasa ini diluar wewenangnya, petugas CSO mempersilakan saya untuk menemui kepala kantornya. Maka saya pun menghadap beliau.
 
Dari sang atasan itulah kemudian saya memahami bahwa sejak tahun lalu Telkom memang sedang melakukan diversivikasi layanan. Mereka menyebutnya sebagai pelayanan yang memberikan nilai tambah kepada pelanggan. Produknya memiliki berbagai macam tingkatan, yang masing-masing berkorelasi dengan besarnya abonemen bulanan yang dibebankan kepada pelanggan. Jika tarip abonemen normal hanya sekitar 30 ribuan, maka tarip ‘program nilai tambah’ itu beragam menjadi sekitar 60 ribuan, 125 ribuan dan sebagainya. Bayangkan saja, salah satu sambungan telepon saya yang biasanya membayar abonemen 35 ribuan tiba-tiba saja ditagihkan sebesar 125 ribuan. Artinya, hampir 400% dari tarip abonemen normal. Lebih mencengangkan lagi karena ternyata Telkom sudah menerapkan tarip itu sejak 7 bulan tanpa memberi tahu saya dan tentu saja tanpa adanya konfirmasi dari saya sebagai pelanggan untuk mengikuti program ‘nilai tambah’ itu. Saat itu pula saya mengajukan dua permintaan kepada sang atasan di kantor Telkom; pertama, kembalikan uang saya, dan kedua, membenahi cara mereka dalam mendapatkan ‘persetujuan’ pelanggan.
 
Sang atasan menjelaskan kepada saya bahwa Telkom menunjuk pihak ke-3 untuk memasarkan produk ‘nilai tambah’ itu. Namun, menurut hemat saya; Telkom tidak bisa berlepas tangan terhadap kecurangan yang dilakukan oleh mitra kerjanya. Pelanggan, tidak berurusan dengan ‘pihak ke-3 itu’. Maka, akhirnya saya mendapatkan kesanggupan pengembalian dana. Sayangnya, beliau menyatakan bahwa sesuai dengan SOP yang ada, Telkom hanya akan memberikan pengembalian uang saya 3 bulan terakhir. Saya mengajukan keberatan karena uang saya telah diambil secara sewenang-wenang selama 7 bulan. Maka kemudian, sang atasan meminta waktu untuk ‘mengurusnya’ kepada atasan yang lebih tinggi. Beliau berjanji untuk menghubungi saya dalam 2-3 hari kemudian.
 
Dua hari kemudian, sang atasan menelepon saya. Ini adalah tindakan yang mengundang respek pelanggan. Beliau benar-benar memegang janjinya. Ada cukup banyak janji yang pernah saya dapatkan dari penyedia jasa lain; namun ada banyak yang sekedar janji-janji kosong belaka. Bahkan, ada juga representatif perusahaan yang ngotot dan malah menghardik pelanggannya ketika mereka menyampaikan keluhan. Manager Telkom ini sudah menunjukkan komitmen pelayanannya yang sangat tinggi. Dan saya sangat menghargainya.  Dalam teleponnya, beliau mengatakan;”saya sudah berusaha memohon kebijaksanaan atasan saya, dan Bapak akan mendapatkan penggantian 6 bulan terakhir,”
 
“Lho, tanggung amat Pak? Kenapa tidak sekalian 7 bulan seperti kenyataan yang ada di lapangan?” saya kembali mengajukan keberatan.
“Itu sudah policy kami Pak, bahkan sekarang Bapak mendapatkan 6 bulan padahal aturan perusahaan hanya membolehkan mengembalikan uang pelanggan dalam 3 bulan terakhir,” begitu beliau berkilah.
 
Cukup lama saya meyakinkan beliau bahwa jika ingin menyelamatkan perusahaannya, maka beliau harus berani melakukan cara yang benar menurut kaidah dan etika bisnis, bukan menurut nafsu pengusaha untuk mengeruk keuntungan. Apalagi di zaman bisnis telco yang semerawut seperti saat ini seolah-olah para pengusaha bisa secara leluasa mengeruk pulsa pelanggannya secara semena-mena. Meskipun indikasi penyalahgunaan itu sudah sedemikian gamblangnya dihadapan kita, namun tidak tampak adanya upaya nyata untuk menatanya. Saya menghimbau kepada beliau agar Telkom tidak ikut-ikutan seperti itu, sebab meskipun sudah go-public, Telkom tetaplah BUMN milik rakyat Indonesia. Maka sepantasnyalah Telkom mempelopori bisnis telco yang beretika, dan melindungi serta menghargai hak-hak pelanggannya yang rakyat Indonesia sekaligus pemilik sesungguhnya dari BUMN itu. Kira-kira seminggu kemudian, beliau kembali menelepon saya. Dan beliau mengatakan bahwa Telkom mengabulkan permintaan saya untuk mengembalikan semua uang saya.
 
Menurut pendapat Anda, apa yang mungkin terjadi jika Telkom tidak memiliki seorang karyawan hebat seperti yang baru saja saya ceritakan? Mengalami kerugian karena saya memutuskan sambungan telepon di rumah saya? Tentu tidak. Karena nilai saya terlampau kecil untuk menimbulkan dampak yang bermakna kepada penghasilan perusahaan. Lantas apa? Saya kira, yang paling penting adalah; hilangnya kesempatan bagi Telkom untuk menyadari bahwa ada penyalahgunaan kemitraan yang dibangunnya dengan pihak ke-3. Karena projek itu masih baru, masih belum banyak pelanggan yang menyadarinya, sehingga boleh jadi ‘bisnis’ di permukaan terlihat baik-baik saja. Tetapi, jika itu dibiarkan, bukan mustahil jika praktek-praktek tidak etik itu akan berubah menjadi bom waktu yang semakin lama semakin membahayakan perusahaan.
 
Menurut hemat saya, Telkom beruntung mempekerjakan karyawan yang telah dengan tulus dan gigihnya melayani saya seperti beliau. Orang ini memang bukan karyawan biasa, mengingat kedudukannya yang cukup tinggi di kantor itu. Namun, hal ini menunjukkan bahwa Telkom memiliki modal dasar yang kuat untuk membangun bisnis yang beretika dan berorientasi kepada pelayanan kepada pelanggan yang baik. Secara pribadi, saya berharap agar Telkom bisa membangun kemampuan serupa di seluruh jajaran petugas pelayanan kepada pelanggannya. Bukan hanya di level pemimpin, melainkan juga di level front-liners yang sehari-harinya langsung berhubungan dengan pelanggan. Dengan demikian, Telkom bisa menjadikan semangat melayani itu sebagai bagian dari identitas perusahaan. Dan sebagai pelanggan, saya juga bisa berharap agar Telkom mampu menjadi model bagi provider bisnis telco lainnya untuk menerapkan etika dan pelayanan terbaiknya kepada pelanggan; bukan hanya memenuhi target pendapatan perusahaan belaka.
 
Memangnya ada apa dengan bisnis telco kita? Hmmh, sayang sekali. Kita masih belum menyadari apa yang sedang terjadi, padahal keluhan pelanggan semakin marak terjadi. Tetapi, apakah benar itu terjadi? Tidak ada gunanya berdebat soal fakta yang nyata ada ditengah-tengah kita. Tetapi saya percaya bahwa provider telepon di negeri kita ingin agar bisnisnya lestari dan berdigniti. Dan dari case yang saya alami di Telkom ini, saya percaya jika Telkom bisa menjadi pionir untuk menunjukkan cara melayani pelanggan dengan sebaik-baiknya. Setidak-tidaknya, saya melihat bibit unggul yang dimiliki oleh Telkom melalui seseorang yang telah melayani saya beberapa waktu lalu. Dan saya percaya jika karyawan yang satu ini benar-benar merupakan asset berharga bagi Telkom. Saya berdoa agar dimasa depan beliau bisa menduduki posisi kunci yang dapat membawa Telkom dan bisnis telco di Indonesia bergerak kearah yang lebih baik lagi.
 
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
Natural Intelligence Contemplator

 
Catatan Kaki:
Ketika kita menyadari bahwa melayani pelanggan itu pada hakekatnya juga melayani hamba Tuhan, maka kita tidak akan berani memperlakukannya hanya sekedar untuk mencari keuntungan.

0 komentar anda:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar atau menyampaikan informasi atau sekedar mengekpresikan diri. minimal 10 kata, maaf di bawah 10 kata kami tidak terbitkan. thanks